03 April 2007

Buitenzorg’Anti Keruwetan’

Kampoeng Bogor,
Penyerangan Kesultanan Banten pada tahun 1579 terhadap Kerajaaan Pajajaran yang ber-ibu kota Pakuan telah berhasil menaklukan sebuah kekuasaan yang lokasinya saat ini di Kota Bogor tepatnya di daerah Batu Tulis. Di daerah sempit yang diapit Cisadane dan Ciliwung. Hancur dan hilanglah sebuah ibu kota dan lama kelamaan berganti rupa menjadi hutan besar karena memang tidak untuk ditempati oleh Kesultanan Banten. Cikal bakal sebuah kota sudah terbentuk.
Seabad kemudian, tepatnya September 1687 Gubernur Jenderal Johannes Camphuys menugaskan Scipio seorang Sersan Belanda yang ditemani Letnan Tanuwijaya orang Sunda dari Sumedang untuk mencari keberadaan ibu kota Pakuan sekaligus membuka Hutan Pajajaran yang berkabut dan menjadi tempat harimau Jawa berdiam, bahkan salah seorang anggota ekspedisi meninggal di terkam harimau. Hutan belantara ini kemudian berubah lagi menjadi lapangan luas dan terbuka, tanpa pohon-pohonan sama sekali akibat meletusnya Gunung Salak pada tahun 1699. Ratalah akhirnya Kota Bogor. Hanya tinggal semak belukar dan padang ilalang.
Sejak munculnya beberapa kampung di luar Pakuan yang dibentuk oleh Letnan Tanuwijaya, maka perkembangan administrasi diawali pada tahun 1701 dengan penunjukkan Letnan Tanuwijaya menjadi Demang (kepala perkampungan). Sedangkan perkembangan budidaya tanaman dalam bentuk perkebunan ditandai dengan penanaman kopi pada tahun 1723 yang mewajibkan penanaman kopi bagi tanah-tanah sekitar Batavia. Mulailah dilaksanakan Sistem Priangan “Preangerstelsel“ yaitu penanaman wajib tanaman tertentu dan menyerahkan hasilnya. Disamping kopi, termasuk pula tanaman wajib dalam peraturan ini adalah kapas, lada, dan tarum (indigo). Tetapi kopilah yang terutama menjadi sasaran karena laku keras dalam pasar dunia.
Setelah geger pembantaian etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740, Van Imhoff ditugaskan untuk menjadi Gubernur Jenderal pengganti Adriaan Valckenier. Mulailah dia bertugas untuk membersihkan kekacauan-kekacauan dan berbagai pemberontakan sebagai warisan yang ditinggalkan Gubernur Jenderal Valckenier. Kepeningan memenuhi kepala Van Imhoff sehingga mendorong dia untuk berjalan-jalan mencari tempat istirahat. Akhirnya jatuh cintalah ke sebuah tempat yang diapit dua sungai besar Cisadane dan Ciliwung, dengan topografi landai dan beriklim sejuk karena berada di kaki Gunung Salak dan Gunung Gede, selain itu tidak terlalu jauh dengan pusat pemerintahan yang lagi bergejolak di Batavia.
Dia berencana membuat daerah tersebut menjadi tempat peristirahatan yang damai dan lepas dari keruwetan sehingga disebutlah Buitenzorg. Sedangkan wilayah yang meliputi sembilan distrik menjadi wilayah pemerintahan ”Regentschap“ Buitenzorg dengan menunjuk Demang Wartawangsa sebagai kepala wilayah. Seluruh tanah yang berada di wilayah Buitenzorg kemudian menjadi tanah bengkok untuk Gubernur Jenderal yang sedang berkuasa. Artinya siapapun yang akan menggunakan tanah di Buitenzorg harus membayar sewa. Lima tahun rumah peristirahatan tersebut dibangun dengan halaman depan yang terbuka, ditumbuhi rerumputan dan tanaman hias yang menghadap ke utara dan halaman belakang yang tertutup dengan tanaman tahunan tropis besar dan rindang menghadap ke selatan. Landskap rumah peristirahatan kemudian berdampak pada perkembangan selanjutnya kota Bogor.
Keberadaan rumah peristirahatan yang seterusnya didiami setiap Gubernur Jenderal telah mendorong Bupati Buitenzorg yang ber-ibukota di Kampung Baru untuk lebih mendekatkan diri dengan rumah tuannya supaya lebih mudah dan cepat dalam menyelesaikan segala hal. Bupati kemudian mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Mossel pada tahun 1754 agar diizinkan menyewa tanah di sebelah selatan atau di halaman belakang rumah peristirahatan, tepatnya di Sukahati (sekarang Empang) sebagai tempat kediamannya dan pusat pemerintahan wilayah Bogor, sejak itu daerah sekitar Empang mulai tumbuh sebagai pusat pemerintahan yang makin mantap.
Sebuah kerja besar yang tidak akan hilang dari peta Pulau Jawa, termasuk Kota Bogor dilakukan oleh Daendels 1808 dengan pembangunan jalan antara Anyer sampai Panarukan yang dikenal dengan nama De Groote Postweg. Jalan tersebut tembus dari Jakarta tepat lurus di depan pintu utama kebun raya, kemudian mengelilingi halaman dan belok di pecinan [Pasar Bogor] kemudian menuju tajur, selanjutnya menuju puncak. Daendels juga diketahui sebagai perubah rupa dari kebijakan pengelolaan tanah. Dia adalah pembeli terakhir tanah bengkok Buitenzorg, pada masa pemerintahannya yang kekurangan uang, tanah bengkok bisa dijual kepada pihak lain. Mulai muncullah tuan-tuan tanah baru yang selanjutnya Daendels melakukan reorganisasi wilayah kabupaten-kabupaten Batavia dan Priangan.
Perubahan cukup besar terhadap Bogor terjadi dengan kehadiran Raffles (1811) yang menyenangi budaya dan botani, dia kemudian melakukan perubahan besar dengan merubah halaman istana menjadi sebuah kebun botani yang lengkap. Mulailah cikal bakal kebun raya terbentuk. Semakin indahnya rumah peristirahatan menyebabkan Raffles menjadikannya Istana resmi Gubernur Jenderal, sedang pemerintahan tetap di Batavia. Namun sebagian besar waktunya tentu dihabiskan di Buitenzorg.
Raffles juga melakukan hal yang sama dengan Daendels yang melakukan penjualan tanah bengkok. Makin terpecahlah tanah-tanah di Bogor, terbagi kepada para pemilik lainnya. Penjualan tanah menyebabkan perlunya dilakukan perbaharuan wilayah kabupaten Batavia dan Priangan. Wilayah Batavia, kota dan daerah Ommelanden (daerah sekitar Batavia)dipisahkan dengan wilayah Buitenzorg yang kemudian menjadi karesidenan tersendiri sekaligus menjadi pusat administrasi keresidenan yang membawahi Kabupaten Bogor; Cianjur dan Sukabumi.
Tercatat mulai tahun 1815 embrio sebuah kota semakin terbentuk dengan fungsinya yang semakin tinggi, termasuk semakin jelasnya keberadaan Pasar Bogor untuk memenuhi kebutuhan perdagangan karena semakin ramainya aktifitas penduduk. Penambahan berbagai bangunan untuk mendukung berjalannya pusat pemerintahan juga terus dilakukan. Pemisahan Istana dengan halamannya 18 Mei 1817 yang kemudian menjadi s'Lands Plantentuinte Buitenzorg (sekarang Kebun Raya) pada masa Baron van der Capellen semakin membuat Buitenzorg mengalami pembangunan yang pesat, berbagai tempat penelitian dan laboratorium dibangun.
Istana Bogor mengalami rusak berat karena terjadinya guncangan keras Gunung Salak pada tanggal 10 Oktober 1834. Setelah kondisi mereda pada tahun 1850 Gubernur Jenderal Albertus Jacob Duijmayer van Twist mulai melakukan perombakan besar-besaran kediaman resminya dengan membangun kembali Istana Bogor, tetapi tidak bertingkat lagi karena disesuaikan dengan situasi daerah yang sering gempa itu. Bangunan lama sisa gempa itu dirubuhkan dan dibangun dengan mengambil arsitektur Eropa abad ke-19.
Sejalan dengan berkembangnya pengaruh luar dan ekonomi yang semakin meningkat, tentunya menimbulkan berbagai potensi konflik yang semakin merepotkan pemerintah Belanda untuk melakukan kontrol, akibatnya pada tahun 1835 Belanda mengeluarkan peraturan wijkenstelsel yaitu diberlakukan zona pemukiman etnis aturan passenstelsel yaitu surat jalan.
Di Bogor sendiri aturan wijkenstelse baru dilaksanakan pada 6 Juli 1845 ditetapkan keputusan pemerintah Hindia Belanda tentang peraturan permukiman di Kota Bogor yang berisi antara lain: Orang Eropa yang disamakan haknya diberi izin membangun rumah di sebelah barat jalan raya (sekarang jalan Sudirman) mulai dari Witte Paal (pilar Pabaton yang dibangun pada tahun 1836) sampai sebelah selatan Kebun Raya dan pakancilan. Orang Tionghoa diberi peruntukan lahan di daerah yang berbatasan dengan jalan raya sepanjang jalan Suryakencana sampai tanjakan Empang. Sedangkan pemukiman Arab berada di sekitar Empang Setelah Istana Bogor selesai dibangun tentunya banyak sekali tamu yang datang ke sana. Dirasakan perlunya dibangun hotel untuk para tamu, sehingga dibangunlah Binnenhof Hotel [sekarang Hotel Salak] pada tahun 1856 dengan 54 kamar yang merupakan sebuah hotel untuk kelompok elit dari Istana, serta dimiliki oleh keluarga Istana yang memiliki hubungan dengan Gubernur Jenderal. Saat itu digunakan sebagai tempat untuk beristirahat dan tinggal, serta menjadi tempat pertemuan para pengusaha dan pegawai pemerintah. Baru pada tahun 1870 Istana Bogor menjadi kediaman resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Setiap orang ingin semakin dekat dengan sang ’Penguasa’, berbondong-bondong saudagar dan para pejabat tinggi datang ke Buitenzorg, membuat tempat beristirahat dan lari dari kebisingan Batavia. Daerah elit yang didiami orang Belanda tersebar di sekitar istana terutama yang berada di kawasan depan pintu utama Istana Bogor, orang Tionghoa dan Arab berada di ’belakang’ Istana Bogor ditutupi Kebun Raya, sedangkan pribumi tertutup di balik tembok-tembok besar rumah elit Belanda dan tersembunyi di sekitar lereng sungai Ciliwung. (Ahmad Baehaqie/P4W-IPB)